Truth and Love News

Pekerjaan Hati

Avatar photo

Clevelyn Ikralia Tobing

Pekerjaan Hati oleh A. W. Pink

Seperti orang miskin berharap menjadi kaya di dunia ini tanpa bekerja keras, atau orang lemah yang berharap menjadi kuat dan sehat tanpa makanan dan olahraga, demikianlah orang Kristen yang berharap menjadi kaya dalam iman dan kuat di dalam Tuhan tanpa usaha yang sungguh-sungguh dan tekun. Memang benar bahwa segala jerih payah kita tidak ada artinya kecuali Tuhan memberkatinya (Mazmur 127:1), dan juga di luar Dia kita tidak dapat berbuat apa-apa (Yohanes 15:5). Namun demikian, Allah tidak menghargai kemalasan, dan telah berjanji bahwa “hati orang rajin diberi kelimpahan” (Amsal 13:4). Seorang petani mungkin sepenuhnya yakin akan ketidakberdayaannya dalam menjadikan ladangnya produktif, dia mungkin menyadari bahwa kesuburannya bergantung pada kehendak Allah yang berdaulat, dan dia mungkin juga sangat percaya pada keampuhan doa; tetapi kecuali dia melaksanakan tugasnya, lumbungnya akan kosong. Demikian pula halnya secara rohani.

Allah tidak memanggil umat-Nya untuk menjadi pemalas atau mempertahankan sikap pasif. Tidak, Ia meminta mereka bekerja, membanting tulang, bekerja keras. Yang menyedihkan adalah banyak di antara mereka yang melakukan tugas yang salah, atau, paling tidak, memberikan sebagian besar perhatian mereka pada hal-hal yang bersifat insidental, dan mengabaikan hal-hal yang penting dan mendasar. “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan” (Amsal 4:23): inilah tugas besar yang diberikan Allah kepada setiap anak-Nya. Namun oh, betapa menyedihkannya hati diabaikan! Di antara seluruh kepentingan dan harta milik mereka, sebagian besar orang yang mengaku Kristen menggunakan kerajinan yang paling sedikit untuk menjaga hati mereka. Selama mereka menjaga kepentingan mereka yang lain—reputasi mereka, tubuh mereka, posisi mereka di dunia—hati bisa ditelantarkan.

Sebagaimana jantung dalam tubuh jasmani kita adalah pusat dan sumber kehidupan, karena darinya darah bersirkulasi ke setiap bagian tubuh, menyalurkan entah itu kesehatan atau penyakit, demikian pula halnya dengan kita secara rohani. Jika hati kita menjadi tempat keberadaan dari kefasikan, kesombongan, keserakahan, kedengkian, nafsu kotor, maka seluruh kehidupan kita akan ternoda oleh sifat-sifat buruk ini. Jika hal-hal ini diijinkan masuk ke dalam hati dan bertahan selama satu periode waktu, maka karakter dan perilaku kita akan terpengaruh secara proposional. Oleh karena itu yang paling penting, benteng hati perlu dijaga dengan baik, agar tidak direbut oleh penyerbu-penyerbu yang banyak dan pengintai yang tidak berhenti menyerang. Mata air ini perlu dilindungi dengan baik agar airnya tidak diracuni.

Manusia adalah sebagaimana hatinya. Jika hatinya mati bagi Allah, maka tidak ada sesuatu pun di dalam dirinya yang hidup. Jika hatinya benar di hadapan Allah, maka semuanya akan benar. Sebagaimana pegas utama sebuah arloji menggerakkan seluruh roda dan bagian-bagiannya, demikian pula sebagaimana orang “membuat perhitungan dalam dirinya sendiri demikianlah ia” (Amsal 23:7). Jika hati benar, maka tindakan pun akan benar. Sebagaimana hati seseorang, demikianlah keadaannya sekarang dan di kemudian hari: jika hatinya dilahirkan kembali dan disucikan maka akan ada kehidupan yang beriman dan suci di dunia ini, dan kehidupan kekal akan dinikmati di dunia yang akan datang. Karena itu, “Lebih baik perhatikan pembersihan hatimu, daripada pembersihan sumurmu; lebih baik perhatikan pemberian makan bagi hatimu, dari pada pemberian makan bagi kawanan ternakmu; lebih baik perhatikan untuk mengawal hatimu, dari pada untuk mengawal rumahmu; lebih baik perhatikan untuk menjaga hatimu, daripada menjaga uangmu” (Peter Moffat, 1570).

“Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan” (Amsal 4:23). “Hati” yang dimaksud di sini adalah seluruh keberadaan batin kita, “manusia batiniah yang tersembunyi” (1 Petrus 3:4). Ialah yang mengontrol dan memberi karakter pada semua yang kita lakukan. Untuk “menjaga”— membentengi atau mengawal—hati atau jiwa adalah pekerjaan besar yang telah diberikan Allah kepada kita: pemberdayaan adalah bagian Allah, namun tugas itu adalah bagian kita. Kita harus menjaga imajinasi kita dari kesia-siaan, pengertian dari kesalahan, kehendak dari kesesatan, hati nurani bersih dari rasa bersalah,  afeksi dari menjadi berlebihan dan tertuju pada obyek-obyek yang jahat, pikiran dari digunakan untuk hal-hal yang tidak berguna dan keji; keseluruhannya dari dirasuki oleh setan. Ini adalah pekerjaan yang kepadanya Allah telah memanggil kita.

John Flavel, seorang Puritan, dengan tepat mengatakan, “Menjaga dan mengelola hati dengan benar dalam segala kondisi adalah urusan besar dalam kehidupan seorang Kristen.” Sekarang, “menjaga” hati tetap benar berarti bahwa hati telah dijadikan benar. Demikianlah halnya pada kelahiran baru, hati diberi kecenderungan rohani yang baru. Pertobatan sejati adalah peralihan hati dari kendali setan kepada kendali Allah, dari dosa kepada kekudusan, dari dunia kepada Kristus. Menjaga hati tetap benar menandakan kepedulian dan ketekunan yang terus-menerus dari orang yang telah diperbarui untuk menjaga jiwanya dalam bingkai suci di mana kasih karunia telah menguranginya dan setiap hari berusaha untuk mempertahankannya.“Di sini semua kejadian bergantung: hati tetap terjaga, seluruh perjalanan hidup kita di sini akan sesuai denganpikiran Allah, dan akhir dari semuanya adalah menikmati-Nya di akhirat. Jika ini diabaikan, kehidupan akan hilang, baik di sini sebagai ketaatan, dan di akhirat sebagai kemuliaan” (John Owen dalam Causes of Apostasy).

1. “Menjaga” hati berarti berusaha menutup diri dari segala hal yang bertentangan dengan Allah. “Anak-anakku, waspadalah terhadap segala berhala” (1 Yohanes 5:21). Allah adalah Allah yang cemburu dan tidak akan membiarkan ada saingan; Ia mengklaim tahta hati kita, dan menuntut kasih kita setinggi-tingginya. Ketika kita melihat bahwa afeksi kita diarahkan secara berlebihan kepada objek duniawi apa pun, kita harus melawannya, dan “melawan si Iblis”. Ketika Paulus berkata, “Segala sesuatu halal bagiku, tetapi bukan semuanya berguna. Segala sesuatu halal bagiku, tetapi aku tidak membiarkan diriku diperhamba oleh suatu apa pun” (1 Korintus 6:12), dia memaksudkan bahwa dia menjaga hatinya dengan tekun, bahwa dia cemburu agar jangan sampai hal-hal yang tidak berguna mendapat penghargaan dan tempat dalam jiwanya, yang seharusnya hanya diberikan kepada Tuhan. Sebuah benda yang sangat kecil yang diletakkan tepat di depan mata sudah cukup untuk menghalangi cahaya matahari, dan hal-hal remeh yang dijunjung oleh afeksi dapat segera memutuskan persekutuan dengan Yang Maha Kudus.

Sebelum lahir baru, hati kita lebih licik daripada segala sesuatu, dan sangat jahat (Yeremia 17:9): hal ini karena prinsip kejahatan, “daging”, berkuasa penuh atashati kita. Namun karena “daging” tetap ada di dalam diri kita setelah pertobatan, dan terus-menerus berjuang untuk menguasai “roh”, maka orang Kristen perlu terus-menerus melatih rasa cemburu yang waspada terhadap hatinya, mengingat kesiapannya untuk dipaksa, serta kecenderungannya untuk tunduk pada godaan. Semua jalan menuju hati perlu dijaga dengan saksama agar tidak ada hal-hal yang menyakitkan yang masuk ke dalamnya, khususnya terhadap pikiran-pikiran dan khayalan-khayalan yang sia-sia, dan terutama pada saat-saat ketika hal-hal ini cenderung memperoleh keuntungan. Sebab jika pikiran-pikiran yang berbahaya dibiarkan masuk ke dalam pikiran, jika kita membiasakan diri untuk menjamunya, maka sia-sialah kita berharap untuk “berpikiran rohani” (Roma 8:6). Segala pemikiran seperti itu hanyalah pasokan untuk memenuhi hawa nafsu kedagingan.

Oleh karena itu, bagi orang Kristen, “menjaga” hatinya dengan segala kewaspadaan berarti memperhatikan dengan cermat ke arah mana kecintaannya tertuju, untuk mengetahui apakah hal-hal duniawi semakin menguasai dirinya atau justru sebaliknya mereka semakin kehilangan pesonanya bagi dirinya. Allah telah menasihati kita, “Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi” (Kolose 3:2), dan memperhatikan perintah ini menuntut pemeriksaan hati yang terus-menerus untuk mengetahui apakah hati menjadi semakin mati terhadap dunia yang penuh tipu daya dan kebinasaan ini, dan apakah hal-hal surgawi yang menjadi sukacita kita yang terutama dan terbesar. “Tetapi waspadalah dan berhati-hatilah, supaya jangan engkau melupakan hal-hal yang dilihat oleh matamu sendiri itu, dan supaya jangan semuanya itu hilang dari ingatanmu” (Ulangan 4:9).

2. “Menjaga” hati berarti berusaha menyelaraskannya dengan Firman. Kita tidak boleh berpuas diri sampai gambaran dari ajaran-ajarannya yang murni dan suci tercetak di atasnya. Sayangnya, banyak orang saat ini hanya bermain-main dengan realitas Allah yang khidmat, membiarkannya melintas lalu dalam imajinasi mereka, namun tidak pernah merangkul dan menjadikannya milik mereka. Mengapa, para pembaca yang budiman, kesan-kesan serius yang Anda rasakan ketika mendengarkan khotbah yang tajam atau membaca artikel yang mengena pun begitu cepat memudar? Mengapa perasaan dan aspirasi suci yang bergejolak dalam diri Anda tidak bertahan lama? Mengapa mereka tidak membuahkan hasil? Bukankah itu karena Anda gagal melihat bahwa hati Anda benar-benar terpengaruh oleh hal-hal tersebut? Anda gagal untuk “berpegang teguh” pada apa yang telah Anda “terima dan dengar” (Wahyu 3:3), dan akibatnya hati Anda menjadi terjerat dalam “kekuatiran dunia ini” atau “tipu daya kekayaan”, dan dengan demikian Firman terhimpit.

Tidaklah cukup hanya mendengar atau membaca khotbah yang baik dari salah seorang hamba Allah, dan menjadi sangat terpaut dan tergugah olehnya. Jika tidak ada usaha yang tekun dari Anda, maka akan dikatakan demikian “Kasih setiamu seperti kabut pagi, dan seperti embun yang hilang pagi-pagi benar” (Hosea 6:4). Lalu, apa yang diperlukan? Ini: doa yang sungguh-sungguh dan tekun agar Allah menancapkan Firman itu ke dalam jiwa Anda seperti paku yang tertancap kuat, sehingga Iblis tidak dapat merampasnya. Apa yang dibutuhkan? Ini: “Maria menyimpan segala perkara itu dan merenungkannya” (Lukas 2:19). Hal-hal yang tidak direnungkan dengan baik akan segera terlupakan: meditasi bermanfaat bagi membaca seperti halnya mengunyah bermanfaat bagi makan. Apa yang dibutuhkan? Ini: agar Anda dengan segera menerapkan apa yang telah Anda pelajari, berjalan sesuai dengan terang yang telah Allah berikan, atau terang itu akan segera diambil dari Anda (Lukas 8:18).

Bukan hanya perbuatan lahiriah harus diatur oleh Firman, tetapi hati juga harus disesuaikan dengan Firman. Tidaklah cukup untuk menahan diri dari pembunuhan, kemarahan yang tidak beralasan juga harus disingkirkan. Tidaklah cukup untuk menahan diri dari perzinahan, hawa nafsu batiniah juga harus dimatikan (Matius 5:28). Allah tidak hanya mencatat dan menyimpan catatan dari semua tingkah laku lahiriah kita, namun Ia “menguji hati” (Amsal 16:2). Tidak hanya itu, Iameminta kita untuk mencermati sumber-sumber yang menjadi asal usul tindakan kita, untuk memeriksa motif-motif kita, untuk merenungkan semangat kita bertindak. Allah menuntut kebenaran—yaitu ketulusan, fakta—dalam “batin” (Mazmur 51:6). Oleh karena itu Ia berpesan kepada kita, “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.”

3. “Menjaga” hati berarti memeliharanya agar tetap sensitif terhadap dosa. Manusia yang belum dilahirkan kembali hanya sedikit atau bahkan tidak membuat pembedaan sedikit pun antara dosa dan kejahatan; selama dia menaati hukum yang berlaku di negaranya, dan menjaga reputasi sebagai orang yang terhormat di antara rekan-rekannya, dia, secara umum, cukup puas dengan dirinya sendiri. Namun berbeda halnya dengan orang yang telah dilahirkan kembali: ia telah disadarkan akan fakta bahwa ia harus berurusan dengan Allah dan masih harus memberikan pertanggungjawaban penuh kepada-Nya. Dia menyadari seratus hal yang tidak pernah menjadi masalah bagi orang yang belum bertobat. Ketika Roh Kudus pertama kali menyadarkannya, dia disadarkan bahwa seluruh hidupnya merupakan sebuah pemberontakan melawan Allah, untuk menyenangkan dirinya sendiri. Kesadaran akan hal ini sangat menusuknya: penderitaan batinnya jauh melebihi rasa sakit tubuh atau kesedihan apa pun yang disebabkan oleh kehilangan sementara. Diihat dirinya sendiri sebagai seorang penderita kusta rohani, dan membenci dirinya sendiri oleh karenanya, serta berdukacita dengan sangat sedih di hadapan Allah. Dia menangis, “Sembunyikanlah wajah-Mu terhadap dosaku, dan hapuslah segala kesalahanku! Jadikanlah hatiku tahir, ya Allah, dan perbaruilah batinku dengan roh yang teguh!” (Mazmur 51:11,12)

Sekarang adalah kewajiban orang Kristen, dan bagian dari tugas yang telah ditetapkan Allah kepadanya, untuk memastikan bahwa kesadaran akan kesalahan yang sangat besar dari dosa ini tidak hilang. Dia harus mengusahakan setiap hari agar hatinya sadar akan kekejian dari keinginan diri sendiri dan cinta diri. Ia harus dengan teguh menolak segala upaya setan untuk membuatnya mengasihani dirinya sendiri, menganggap remeh perbuatan salah, atau memaafkan dirinya sendiri. Ia harus hidup dalam kesadaran terus-menerus bahwa mata Allah selalu tertuju padanya, sehingga ketika dicobai ia akan berkata seperti Yusuf, “Bagaimanakah mungkin aku melakukan kejahatan yang besar ini dan berbuat dosa terhadap Allah?” (Kejadian 39:9). Ia harus memandang dosa dalam terang salib, setiap hari mengingatkan dirinya sendiri bahwa kesalahannyalah yang menyebabkan Tuhan Yang Mulia menjadi kutukan baginya; menjadikan kasih Kristus yang mati sebagai alasan mengapa Ia tidak boleh membiarkan dirinya melakukan apa pun yang bertentangan dengan kekudusan dan ketaatan yang diminta Juruselamat dari semua umat tebusan-Nya.

Ah, pembaca Kristen saya, bukanlah permainan anak-anak untuk “menjaga hati dengan segala kewaspadaan.” Agama yang santai di zaman kita tidak akan pernah membawa umatnya (atau lebih tepatnya korbannya!) ke surga. Pertanyaannya telah diajukan, ”Siapakah yang boleh naik ke atas gunung Tuhan? atau siapakah yang boleh berdiri di tempat-Nya yang kudus?” dan dengan jelas pertanyaan itu telah dijawab oleh Allah sendiri: ”Orang yang bersih tangannya dan murni hatinya” dst. (Mazmur 24:3, 4). Ajaran Perjanjian Baru juga sama jelasnya, “Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah” (Matius 5:8). “Hati yang murni” adalah hati yang membenci dosa,yang hati nuraninya sadar akan dosa, yang berduka karenanya, yang berjuang untuk melawannya. “Hati yang murni” adalah hati yang berusaha menjaga agar Bait Roh Kudus, tempat Kristus berdiam, tidak tercemar (Efesus 3:17).

4. “Menjaga” hati berarti rajin menjaga kebersihannya. Mungkin sebagian dari pembaca kami sering mendapati dirinya menangis dengan sedih, “Oh, betapa jahatnya hatiku!”. Terima kasih kepada Allah jika Ia telah menyingkapkannya bagi Anda. Tapi, sahabatku, tidak ada alasan yang cukup mengapa “hati” Anda harus terus menjadi jahat. Anda mungkin mengeluh karena taman Anda ditumbuhi rumput liar dan dipenuhi sampah; tapi apakah perlu tetap begitu? Sekarang kita tidak berbicara tentang natur berdosa, “daging” yang tidak dapat disembuhkan dan tidak dapat diubah, yang masih tinggal di dalam diri Anda; tapi tentang “hati” Anda, yang diperintahkan Allah untuk Anda “jaga”. Anda bertanggung jawab untuk membersihkan pikiran Anda dari imajinasi yang sia-sia, jiwa Anda dari afeksi yang melanggar hukum, hati nurani Anda dari rasa bersalah.

Namun, sayang sekali, Anda berkata, “Saya tidak mempunyai kendali atas hal-hal seperti itu: hal-hal tersebut datang tanpa diminta dan saya tidak berdaya untuk mencegahnya.” Itulah yang Iblis ingin Anda percayai! Kembali lagi ke analogi taman Anda. Bukankah rumput liar tumbuh tanpa diminta? Bukankah siput dan hama lainnya memangsa tanaman? Lalu bagaimana? Apakah Anda hanya meratapi ketidakberdayaan Anda? Tidak, Anda menolaknya, dan mengambil cara untuk memusnahkannya. Pencuri memasuki rumah tanpa diundang, tapi salah siapa jika pintu dan jendela dibiarkan terbuka? Oh, jangan pedulikan lagu pengantar tidur si setan yang menggoda. Allah bersabda, “Sucikanlah hatimu, hai kamu yang mendua hati!” (Yakobus 4:8); yaitu, satu pikiran untuk Allah, dan satu lagi untuk diri sendiri! satu untuk kekudusan, dan yang lain untuk kesenangan dosa.

Namun bagaimana caranya saya “memurnikan” hati saya? Dengan memuntahkan hal-hal kotor yang telah dibawa masuk ke dalamnya, dengan malu mengakuinya di hadapan Allah, menolaknya, berpaling darinya dengan kebencian; dan ada tertulis: “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.” Dengan memperbaharui pertobatan kita setiap hari, dan pertobatan seperti yang dibicarakan dalam 2 Korintus 7:11; “Sebab perhatikanlah betapa justru dukacita yang menurut kehendak Allah itu mengerjakan pada kamu kesungguhan yang besar, bahkan pembelaan diri, kejengkelan, ketakutan, kerinduan, kegiatan, penghukuman! Di dalam semuanya itu kamu telah membuktikan, bahwa kamu tidak bersalah di dalam perkara itu.” Dengan menjalankan iman setiap hari (Kisah 15:9), menerima kembali darah Kristus yang menyucikan, mandi setiap malam di “mata air” yang telah dibuka “untuk dosa dan kecemaran” (Zakharia 13:1). Dengan menapaki jalan perintahAllah: “Karena kamu telah menyucikan dirimu oleh ketaatan kepada kebenaran melalui Roh Kudus” (1 Petrus 1:22).

Sekarang kita menunjukkan apa yang jelas bagi setiap pembaca Kristen, yaitu bahwa tugas seperti itu memerlukan bantuan Ilahi. Pertolongan dan rahmat perlu dicari dengan sungguh-sungguh dan penuh keyakinan dari Roh Kudus setiap hari. Kita harus bersujud di hadapan Allah, dan dengan segala kesederhanaan berkata, ”Tuhan, Engkau menuntutku untuk menjaga hatiku dengan segala ketekunan, dan aku merasa sama sekali tidak kompeten untuk tugas seperti itu; pekerjaan seperti itu sama sekali berada di luar kemampuanku yang lemah; oleh karena itu aku dengan rendah hati mohonlah kepada-Mu dalam nama Kristus untuk dengan murah hati memberikan kepadaku kekuatan supernatural untuk melakukan apa yang telah Engkau perintahkan kepadaku. Tuhan, kerjakanlah dalam diriku baik kemauan maupun untuk melakukan apa yang berkenan kepada-Mu.”

“Manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati” (1 Samuel 16:7). Betapa rentannya kita untuk sibuk dengan hal-hal yang cepat berlalu, dibandingkan dengan hal-hal yang kekal; betapa kita siap mengukur sesuatu dengan indra kita, bukan dengan kekuatan rasional kita. Betapa mudahnya kita tertipu oleh apa yang tampak di permukaan, lupa bahwa keindahan sejati terletak di dalam. Betapa lambatnya kita dalam mengadopsi cara Tuhan dalam menilai. Daripada tertarik pada kemolekan fisik, kita harus menghargai kualitas moral dan kebajikan-kebajikan rohani. Daripada menghabiskan begitu banyak perhatian, waktu dan uang untuk mempercantik tubuh, kita harus mencurahkan perhatian terbaik kita bagi pengembangan dan pengarahan jiwa kita. Sayangnya, sebagian besar sesama kita hidup seolah-olah mereka tidak mempunyai jiwa, dan rata-rata orang yang mengaku Kristen tidak terlalu memikirkan hal ini secara serius.

Ya, Tuhan “melihat hati”: Ia melihat pikiran dan maksudnya, mengetahui keinginan dan rancangannya, melihat motif dan gerakannya, dan memperlakukan kita sesuai dengan itu. Tuhan melihat kualitas apa yang ada dalam hati kita: kekudusan dan kebenaran, kebijaksanaan dan kehati-hatian, keadilan dan integritas, belas kasihan dan kebaikan. Ketika kebajikan-kebajikan seperti itu hidup dan berkembang, maka terpenuhilah ayat itu, “Kekasihku telah turun ke kebunnya, ke bedeng rempah-rempah untuk menggembalakan domba dalam kebun dan memetik bunga bakung.”(Kidung Agung 6:2). Allah tidak menghargai apa pun setinggi iman yang suci, kasih yang tulus, dan rasa takut sebagai anak; dalam pandangan-Nya “roh yang lemah lembut dan tenteram” adalah “sangat berharga” (1 Petrus 3:4).

Ketulusan pengakuan iman kita sangat bergantung pada kepedulian dan hati nurani yang kita miliki dalam menjaga hati kita. Contoh yang sangat mendalam mengenai hal ini ditemukan dalam 2 Raja-Raja 10:31, “Tetapi Yehu tidak tetap hidup menurut hukum Tuhan, Allah Israel, dengan segenap hatinya.” Kata-kata itu lebih serius karena apa yang dikatakan tentang dia dalam ayat sebelumnya: “Berfirmanlah Tuhan kepada Yehu: ”Oleh karena engkau telah berbuat baik dengan melakukan apa yang benar di mata-Ku, dan telah berbuat kepada keluarga Ahab tepat seperti yang dikehendaki hati-Ku, maka anak-anakmu akan duduk di atas takhta Israel sampai keturunan yang keempat.” Yehu bersikap separuh hati dalam pertobatannya, yang menunjukkan bahwa hatinya tidak benar di hadapan Allah; dia membenci penyembahan Baal yang dilakukan Ahab, tapi dia menerima anak lembu emas yang didirikan Yerobeam. Dia gagal menyingkirkan semua kejahatan.

Ah, pembacaku, pertobatan sejati bukan hanya menjauhi dosa besar, namun juga hati yang meninggalkan segala dosa. Tidak boleh ada yang disisakan, karena Allah tidak akan mengizinkan berhala apa pun, begitu pula dengan kita. Yehu melangkah sejauh ini, namun dia gagal mencapai titik penting; dia menyingkirkan kejahatan, tetapi dia tidak melakukan apa yang baik. Dia tidak mengindahkan hukum Tuhan untuk berjalan di dalamnya “dengan segenap hatinya.” Sangatlah patut dikhawatirkan bahwa orang-orang yang lalai justru tidak punya kasih karunia, karena ketika prinsip kekudusan ditanamkan dalam hati, hal itu membuat pemiliknya berhati-hati dan berkeinginan untuk menyenangkan Allah dalam segala hal—bukan karena rasa takut yang memperbudak, melainkan karena kasih yang penuh syukur; bukan dengan paksaan, tapi dengan bebas; tidak sesekali, tapi terus-menerus.

“Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan.” Jagalah dengan baik hati Anda yang telah Anda berikan sebagai tempat kediaman bagi-Nya. Jagalah dengan kewaspadaan penuh, karena bukan saja di sana ada musuh yang  tidak mencari jalan masuk, tetapi di dalam juga ada pengkhianat yang berkeinginan untuk berkuasa. Bahasa Ibrani untuk “dengan segala kewaspadaan” secara harfiah diterjemahkan menjadi “di atas segalanya”; di atas semua hal yang menyangkut kehidupan lahiriah kita, karena, betapa pun kita harus berhati-hati terhadap hal itu, hal itu ada di depan mata manusia, sedangkan hati adalah obyek pandangan suci Allah. Maka, “jagalah” atau peliharalah itu dengan lebih tekun daripada reputasi, tubuh, harta benda, uang Anda. Dengan segala kesungguhan dan doa, berusahalah agar tidak ada keinginan jahat yang menguasai atau menetap di sana, hindari segala sesuatu yang membangkitkan hawa nafsu, menyuburkan kesombongan, atau mengobarkan amarah, hancurkan emosi pertama dari kejahatan-kejahatan itu seperti Anda menghancurkan anak kalajengking.

Banyak orang yang menaruh harapan besar dalam berbagai keadaan dan kondisi. Ada yang mengira dia bisa melayani Allah dengan lebih baik jika dia lebih sejahtera secara duniawi; yang lain jika dia melewati dampak  pemurnian dari kemiskinan dan penderitaan. Ada yang mengira spiritualitasnya akan meningkat jika dia bisa lebih menarik diri dan menyendiri; yang lain kalau saja dia bisa memiliki lebih banyak perkumpulan dan persekutuan Kristen. Namun, pembacaku, satu-satunya cara untuk melayani Allah dengan lebih baik adalah dengan merasa puas dengan tempat di mana Ia telah menempatkan Anda, dan dapatkanlah hati yang lebih baik! Kita tidak akan pernah memperoleh keuntungan dari situasi apa pun, atau mengatasi kerugian dari kondisi apa pun, sampai kita memperbaiki dan menyirami akar-akarnya dalam diri kita sendiri. ”Jikalau suatu pohon kamu katakan baik, maka baik pula buahnya.” (Matius 12:33): Usahakan hati yang benar, dan Anda akan segera menjadi unggul dalam segala “keadaan”.

“Tetapi bagaimana caranya agar hatiku benar? Dapatkah orang Etiopia mengubah kulitnya atau macan tutul mengubah bintiknya?” Jawabannya: Anda menciptakan kesulitan Anda sendiri dengan mencampuradukkan “hati” dengan “natur”; keduanya sangat berbeda. Penting untuk menyadari hal ini, karena banyak yang bingung mengenainya. Ada penekanan yang tidak semestinya pada “dua natur dalam diri orang Kristen” sehingga sering kali kita lupa bahwa orang Kristen adalah pribadi yang melampaui kedua naturnya. Kitab Suci membuat perbedaan ini cukup jelas. Misalnya saja, Allah tidak memerintahkan kita untuk menjaga “natur” kita, namun Ia memerintahkan kita untuk menjaga “hati” kita. Kita tidak percaya dengan “natur” kita, tetapi kita percaya dengan “hati” kita (Roma 10:10). Allah tidak pernah memerintahkan kita untuk “mengoyakkan” natur kita (Yoel 2:13), “menyunat” natur kita (Ulangan 10:6) atau “menyucikan” natur kita (Yakobus 4:8), namun Ia memerintahkan hal-hal tersebut atas “hati” kita! “Hati” adalah pusat dari tanggung jawab kita, dan menyangkal bahwa kita harus memperbaiki dan menjaganya, berarti menolak pertanggungjawaban manusia.

Iblislah yang berusaha meyakinkan manusia bahwa mereka tidak bertanggung jawab atas keadaan hati mereka, dan mereka tidak mampu mengubah hati mereka sebagaimana mereka tidak mampu untuk mengubah bintang-bintang di jalur lintasannya. Dan “daging” di dalam diri menganggap kebohongan seperti itu sangat sesuai dengan keadaannya. Namun orang yang telah dilahirkan kembali melalui anugerah Allah yang berdaulat, dengan Kitab Suci yang ada di hadapannya, tidak dapat mengindahkan segala khayalan seperti itu. Walaupun ia harus menyesali betapa dengan menyedihkannya tugas besar yang telah Allah berikan kepadanya diabaikan, meskipun ia harus meratapi kegagalannya dalam menjadikan hatinya sebagaimana mestinya, namun ia ingin melakukan yang lebih baik; dan setelah tugasnya dilimpahkan kepadanya, dia setiap hari akan mencari anugrah yang lebih baik untuk melaksanakan tugasnya, dan alih-alih benar-benar putus asa oleh karena kesulitan dan besarnya pekerjaan yang diperlukan, dia akan semakin bersungguh-sungguh berseru kepada Roh Kudus untuk pertolongan-Nya.

Orang Kristen yang sungguh-sungguh akan berusaha untuk memiliki hati yang “rela” (Keluaran 35:5), yang bertindak secara spontan dan dengan senang hati, bukan karena keharusan; hati yang “sempurna” (1 Tawarikh 29:9), tulus, murni, jujur; hati yang “lembut” (2 Tawarikh 34:26), yang mudah menyerah dan lentur, kebalikan dari yang keras dan keras kepala; hati yang “patah” (Mazmur 34:18), berduka atas segala kegagalan dan dosa; hati yang “bulat” (Mazmur 86:11), semua afeksi berpusat pada Allah; hati yang “dilapangkan” (Mazmur 119:32), menyenangi setiap bagian Kitab Suci dan mengasihi seluruh umat Allah; hati yang “tenang” (Amsal 14:30), benar dalam doktrin dan praktik; hati yang “gembira” (Amsal 15:15), bersukacita senantiasa di dalam Tuhan; hati yang “murni” (Matius 5:8), membenci segala kejahatan; “hati yang jujur dan baik” (Lukas 8:15), bebas dari tipu muslihat dan kemunafikan, bersedia diselidiki terus menerus oleh Firman; hati yang “tunggal” (Efesus 6:5), yang hanya menginginkan kemuliaan Allah; hati yang “sejati” (Ibrani 10:22), tulus dalam segala urusannya dengan Allah.

Waktu untuk Pekerjaan Hati

Kewajiban menjaga hati dengan ketekunan tertinggi adalah tanggung jawab yang mengikat setiap orang Kristen sepanjang waktu; tidak ada periode atau kondisi kehidupan di mana ia dapat dikecualikan dari pekerjaan ini. Namun, ada musim-musim tertentu, jam-jam kritis, yang memerlukan lebih dari sekedar kewaspadaan umum atas hati, dan beberapa di antaranya sekarang akan kita renungkan, dengan mencari bantuan dari atas untuk menunjukkan beberapa bantuan yang paling efektif guna mencapai tugas yang telah Allah tetapkan bagi kita. Prinsip-prinsip umum selalu diperlukan dan bermanfaat, namun detil harus diberikan jika kita ingin tahu bagaimana menerapkannya dalam keadaan tertentu. Kurangnya kejelasan inilah yang menjadi salah satu kekurangan paling mencolok dalam banyak pelayanan modern saat ini.

1. Di Masa Kemakmuran. Ketika pemeliharaan Allah tersenyum kepada kita dan memberikan karunia-karunia duniawi dengan tangan yang murah hati, maka orang Kristen memiliki alasan mendesak untuk menjaga hatinya dengan segala kewaspadaan, karena itulah waktu kita cenderung menjadi ceroboh, sombong, duniawi. Oleh karena itu, Israel diperingatkan sejak dahulu, “Maka apabila Tuhan, Allahmu, telah membawamu ke tanah yang dijanjikan-Nya dengan sumpah kepada nenek moyangmu, yakni Abraham, Ishak, dan Yakub, untuk memberikannya kepadamu kota-kota yang besar dan baik yang tidak kamu dirikan, dan rumah-rumah penuh berisi berbagai-bagai barang yang baik, yang tidak kau isi, dan sumur-sumur yang tidak kamu gali, kebun-kebun anggur dan kebun-kebun zaitun yang tidak kau tanami; dan apabila engkau sudah makan dan menjadi kenyang, berhati-hatilah supaya jangan engkau melupakan Tuhan” (Ulangan 6:10-12). Sayangnya, mereka tidak mengindahkan nasihat itu.

Banyak peringatan yang diberikan dalam Kitab Suci. Mengenai Uzia dicatat, “Ketika ia kuat, tinggi hatinya hingga membawa kehancurannya” (2 Tawarikh 21:16).[1] Kepada raja Tirus Allah berkata, “Tinggi hatimu karena kekayaanmu” (Yehezkiel 28:5). Mengenai Israel kita membaca, “Dan mereka merebut kota-kota kuat, dan tanah yang gemuk, dan memiliki rumah-rumah penuh dengan segala barang, sumur-sumur yang digali, kebun anggur dan kebun zaitun, dan pohon buah-buahan yang berlimpah: sehingga mereka makan, dan kenyang, dan menjadi gemuk, dan menikmati kebaikan-Mu yang besar. Namun demikian, mereka tidak patuh dan memberontak terhadap-Mu, dan membelakangi hukum-Mu, dan membunuh nabi-nabi-Mu yang bersaksi melawan mereka untuk mengubah mereka kepada-Mu” (Nehemia 9:25-26). Dan lagi, “Dari perak dan emas mereka telah membuat berhala” (Hosea 8:4).

Sungguh menyedihkan ayat-ayat di atas, apalagi karena kita telah melihat pengulangan tragis seperti itu di zaman kita sendiri. Oh, pikiran duniawi yang merajalela, pemanjaan daging, pemborosan yang berdosa, yang terlihat di antara orang-orang yang mengaku Kristen saat “masa-masa baik!” Betapa kesalehan praktis menurun, betapa penyangkalan diri menghilang, betapa keserakahan, kesenangan, dan kesembronoan menguasai sebagian besar dari mereka yang menyebut diri sebagai umat Allah. Namun sebesar apapun dosa mereka, jauh lebih besar adalah dosa sebagian besar pengkhotbah yang, alih-alih memperingatkan, menasihati, menegur, dan memberikan teladan kesederhanaan dan penghematan bagi umat mereka, secara kriminal tetap diam atas dosa-dosa mencolok dari para pendengar mereka, dan mereka sendiri mendorong penggunaan uang yang sembrono dan pemenuhan nafsu duniawi. Lalu, bagaimana orang Kristen menjaga hatinya dari hal-hal ini di masa kemakmuran?

Pertama, renungkan dengan serius godaan berbahaya dan menjebak yang menyertai kondisi kemakmuran, karena sangat, sangat sedikit dari mereka yang hidup dalam kemakmuran dan kesenangan dunia ini lolos dari kebinasaan kekal. “[Kristus berkata] Lebih mudah bagi seekor unta untuk masuk melalui lubang jarum, daripada seorang kaya masuk ke dalam kerajaan surga” (Matius 19:24). Betapa banyak orang yang dibawa ke neraka dalam kereta mewah dari kekayaan dan kenyamanan duniawi, sementara hanya segelintir yang dikirim ke surga dengan tongkat penderitaan. Ingatlah juga, bahwa banyak dari umat Tuhan sendiri yang dengan menyedihkan telah sangat merosot dalam masa kesuksesan duniawi. Ketika Israel berada dalam kondisi yang rendah di padang gurun, mereka adalah “kudus bagi Tuhan” (Yeremia 2:3); tetapi ketika diberi makan di padang rumput yang subur di Kanaan, mereka berkata, “Kami adalah tuan; kami tidak akan datang lagi kepada-Mu” (ayat 31).

Kedua, dengan tekun carilah anugerah untuk mengindahkan firman ini, “Jika harta makin bertambah, janganlah hatimu melekat padanya” (Mazmur 62:10). Kekayaan itu mungkin diberikan untuk menguji Anda; kekayaan itu bukan saja merupakan hal yang sangat tidak pasti, sering kali ia bersayap dan terbang dengan cepat, tetapi dalam keadaan yang paling baik pun ia tidak dapat memuaskan jiwa, dan hanya akan binasa seiring dengan penggunaannya. Ingatlah bahwa Allah tidak menilai seseorang sedikit pun lebih baik karena hal-hal ini: Ia menilai kita berdasarkan kebajikan-kebajikan batiniah, dan bukan oleh harta benda lahiriah: “Setiap orang dari bangsa mana pun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepada-Nya.” (Kisah Para Rasul 10:35). Ketiga, desaklah jiwa Anda untuk mempertimbangkan hari perhitungan yang mengerikan itu, di mana sesuai dengan penerimaan kita akan rahmat, demikian pula nantinya pertanggungjawaban kita akan hal tersebut: “Karena setiap orang yang kepadanya banyak diberi, dari padanya akan banyak dituntut” (Lukas 12:48). Kita masing-masing harus memberikan pertanggungjawaban mengenai penatalayanan kita.

2. Di Masa Kesusahan. Ketika pemeliharaan Allah tampak tidak ramah kepada kita, membalikkan rencana-rencana yang kita sayangi, dan menghancurkan kenyamanan lahiriah kita, maka orang Kristen perlu segera memperhatikan hatinya, dan menjaganya dengan segala kewaspadaan agar tidak menjawab melawan Allah atau pingsan di bawah tangan-Nya. Ayub adalah cermin kesabaran, namun hatinya terguncang oleh masalah. Yunus adalah seorang hamba Allah, namun ia kesal di bawah ujian. Ketika persediaan makanan habis di padang gurun, mereka yang telah dibebaskan secara ajaib dari Mesir, dan yang menyanyikan pujian kepada Yahweh dengan sepenuh hati di Laut Merah, mengeluh dan memberontak. Dibutuhkan banyak anugerah untuk menjaga hati tetap tenang di tengah badai kehidupan, untuk menjaga roh tetap manis ketika ada banyak yang membuat daging menjadi pahit, dan untuk mengatakan, “Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil; terpujilah nama Tuhan.” Namun ini adalah kewajiban seorang Kristen!

Untuk membantu hal itu, pertama-tama pertimbangkan, wahai sesama orang Kristen, bahwa meskipun dalam keadaan buruk ini, Allah masih tetap setia menjalankan rancangan besar kasih pilihan atas jiwa-jiwa umat-Nya, dan mengatur penderitaan ini sebagai sarana yang dikuduskan untuk tujuan itu. Tidak ada yang terjadi secara kebetulan, tetapi semuanya berdasarkan keputusan Ilahi (Efesus 1:11), dan oleh karena itu, “segala sesuatu bekerja bersama-sama untuk kebaikan bagi mereka yang mengasihi Allah, bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan tujuan-Nya” (Roma 8:28). Ah, saudara terkasih, itu akan sangat menenangkan dada Anda yang gelisah dan menopang hati Anda yang lemah untuk bersandar atas fakta yang penuh dengan berkat itu. Orang dunia yang malang mungkin berkata, “Segala sesuatu telah hancur,” tetapi tidak demikian bagi orang kudus, karena Allah yang kekal adalah tempat perlindungannya, dan di bawahnya masih ada “lengan yang kekal.”

Ketidaktahuan atau kelupaan akan rancangan kasih Allah yang membuat kita cenderung meradang di bawah penatalaksanaan pemeliharaan-Nya. Jika iman lebih aktif, kita akan “menganggapnya sebagai sukacita” ketika kita jatuh ke dalam berbagai pencobaan (Yakobus 1:2). Mengapa demikian? Karena kita akan melihat bahwa pencobaan-pencobaan itu dikirim untuk melepaskan hati kita dari dunia yang kosong ini, untuk merobohkan kesombongan dan keamanan duniawi, untuk menyempurnakan kita. Jadi, jika Bapa saya yang memiliki rancangan kasih bagi jiwa saya, pantaskah saya marah kepada-Nya? Nanti, jika tidak sekarang, Anda akan melihat bahwa kekecewaan pahit itu adalah berkat terselubung, dan akan berseru, “Bahwa aku tertindas itu baik bagiku” (Mazmur 119:71).

“Allah bukanlah pencipta kekacauan” (1 Korintus 14:33); tidak, Iblis yang menyebabkan itu, dan dia telah berhasil menciptakan banyak kekacauan dalam pemikiran banyak orang, dengan mencampuradukkan “hati” dengan “natur.” Orang-orang berkata, “Saya dilahirkan dengan hati yang jahat, dan saya tidak dapat menahannya.” Akan lebih tepat jika mengatakan, “Saya dilahirkan dengan natur yang jahat, yang menjadi tanggung jawab saya untuk menaklukkannya.” Orang Kristen perlu dengan jelas menyadari bahwa selain dua “natur” nya — daging dan roh — dia memiliki hati yang Allah minta untuk “dijaga.” Kami telah menyinggung poin ini, tetapi kami menganggap perlu untuk menambahkan penjelasan lebih lanjut tentangnya. Saya tidak dapat mengubah atau memperbaiki “natur” saya, tetapi saya dapat dan harus memperbaiki “hati” saya. Misalnya, “natur” malas dan menyukai kenyamanan, tetapi orang Kristen harus menebus waktu dan rajin dalam pekerjaan baik. Natur membenci pemikiran tentang kematian, tetapi orang Kristen harus membawa hatinya untuk merindukan untuk pergi dan bersama Kristus.

Agama populer saat ini cenderung hanya berfokus pada kepala atau tangan saja: yaitu, upaya untuk memperoleh pemahaman intelektual yang lebih luas dan lebih mendalam tentang hal-hal dari Allah atau serangkaian kegiatan yang disebut “pelayanan bagi Tuhan.” Tetapi hati diabaikan! Ribuan orang membaca, belajar, berbicara tentang “kursus Alkitab,” namun dilihat dari semua manfaat rohani yang diperoleh jiwa mereka dari sana, lebih baik mereka pergi memecahkan batu saja. Agar tidak dianggap bahwa kritik ini terlalu keras, kami kutip satu kalimat dari surat yang baru-baru ini diterima dari seseorang yang telah menyelesaikan tidak kurang dari delapan “kursus studi Alkitab”: “Tidak ada dalam ‘kerja keras’ itu yang pernah menuntut pemeriksaan diri, yang membuat saya benar-benar mengenal Allah, dan menerapkan Kitab Suci untuk kebutuhan terdalam saya.” Tentu saja tidak ada: para penyusunnya — seperti hampir semua pembicara di “konferensi Alkitab” yang besar — dengan cermat menghindari semua yang tidak menyenangkan bagi daging, semua yang mengutuk sifat manusia, semua yang menusuk dan meneliti hati nurani. Oh, betapa tragisnya “Kekristenan” yang hanya berfokus pada kepala ini.

Yang sama menyedihkannya adalah agama yang berfokus pada tangan pada hari ini, ketika para “orang yang baru menerima Kristus” didorong untuk mengajar kelas sekolah Minggu, didorong untuk “berbicara” di tempat terbuka, atau melakukan “pekerjaan pribadi.” Berapa ribu pemuda dan gadis muda yang sekarang terlibat dalam apa yang disebut “memenangkan jiwa bagi Kristus,” padahal jiwa mereka sendiri kelaparan secara rohani! Mereka mungkin “menghafal” dua atau tiga ayat Kitab Suci sehari, tetapi itu tidak berarti jiwa mereka diberi makan. Betapa banyak yang memberikan malam mereka untuk membantu di suatu “misi,” padahal mereka perlu menghabiskan waktu di dalam “lindungan Yang Mahatinggi”! Dan betapa banyak jiwa yang bingung menggunakan sebagian besar hari Tuhan dengan terburu-buru dari satu pertemuan ke pertemuan lainnya daripada mencari dari Allah apa yang akan menguatkan mereka melawan godaan sepanjang minggu! Oh, betapa tragisnya “Kekristenan” yang hanya berfokus pada tangan ini.

Betapa liciknya Iblis! Dengan dalih mempromosikan pertumbuhan dalam “pengetahuan tentang Tuhan,” dia membuat orang-orang menghadiri serangkaian pertemuan yang tak ada habisnya atau membaca sejumlah besar majalah dan buku terbitan berkala keagamaan; atau dengan dalih “menghormati Tuhan” melalui semua yang disebut “pelayanan” ini, ia mendorong yang satu atau yang lain untuk mengabaikan tugas besar yang telah Allah tetapkan di hadapan kita: “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan” (Amsal 4:23). Ah, jauh lebih mudah untuk berbicara kepada orang lain daripada secara konstan menggunakan dan meningkatkan semua cara dan tugas suci untuk menjaga jiwa dari dosa, dan menjaganya dalam persekutuan yang manis dan bebas dengan Allah. Adalah jauh lebih mudah menghabiskan satu jam membaca artikel sensasional tentang “tanda-tanda zaman” daripada menghabiskan satu jam meratap di hadapan Allah untuk meminta anugerah penyucian dan pembenahan!

Pekerjaan menjaga hati ini sangat penting. Mengabaikannya sepenuhnya berarti kita hanyalah formalis belaka. “Anakku, berikanlah hatimu kepada-Ku” (Amsal 23:26): sampai itu dilakukan, Allah tidak akan menerima apa pun dari kita. Doa dan pujian dari bibir kita, kerja keras tangan kita, ya, bahkan perilaku luar yang benar, tidak ada nilainya di mata-Nya jika hati kita terasing dari-Nya. Seperti yang dinyatakan oleh rasul yang diilhami, “Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang atau canang yang gemerincing. Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan memahami segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan, dan sekalipun aku mempunyai iman yang dapat memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna. Sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku” (1 Korintus 13:1-3). Jika hati kita tidak tertuju kepada Allah, kita tidak dapat menyembah-Nya, meskipun kita dapat terlihat melakukannya. Oleh karena itu, jagalah dengan cermat cinta Anda kepada-Nya.

Allah tidak dapat ditipu, dan barangsiapa yang tidak memperhatikan untuk mengatur hatinya dengan benar di hadapan-Nya adalah seorang munafik. “Mereka datang kepadamu seolah-olah mereka adalah umat-Ku, dan mereka duduk di hadapanmu sebagai umat-Ku, dan mereka mendengarkan kata-katamu, tetapi mereka tidak melakukannya; dengan mulut mereka mereka menunjukkan banyak cinta, tetapi hati mereka mengikuti keserakahan mereka. Sesungguhnya, engkau bagi mereka seperti lagu cinta yang sangat indah, seperti seorang yang mempunyai suara yang merdu dan dapat memainkan alat musik dengan baik” (Yehezkiel 33:31, 32). Di sini ada sekelompok munafik formal, seperti yang terlihat dari kata-kata “seperti umat-Ku”: seperti mereka, tetapi bukan bagian dari mereka. Dan apa yang membuat mereka menjadi penipu? Penampilan luar mereka sangat bagus — pengakuan yang tinggi, sikap yang hormat, banyak kesenangan yang tampak dalam sarana anugerah. Ah, tetapi hati mereka tidak tertuju kepada Allah, tetapi diperintah oleh hawa nafsu mereka, mengejar keserakahan.

Namun, agar seorang Kristen sejati tidak menyimpulkan dari hal di atas bahwa dia juga seorang munafik, karena banyak kali hatinya mengembara, dan dia menemukan — meskipun berusaha sekuat mungkin — bahwa dia tidak dapat menjaga pikirannya tetap tertuju kepada Allah saat berdoa, membaca Firman-Nya, atau terlibat dalam ibadah umum, kepadanya kami menjawab bahwa keberatan itu membawa pembantahannya sendiri. Anda berkata “berusaha sekuat mungkin”; ah, jika Anda telah melakukannya, maka berkat orang benar adalah milik Anda, meskipun Allah melihatnya baik untuk melatih Anda mengatasi kesulitan pikiran yang mengembara. Masih banyak yang tersisa dalam pemahaman dan afeksi Anda, tetapi jika Anda terlatih atasnya, berjuang melawannya, dan bersedih atas keberhasilan Anda yang sangat tidak sempurna, maka itu sudah cukup untuk membebaskan Anda dari tuduhan kemunafikan yang merajalela.

Menjaga hati sangatlah penting karena “dari situlah terpancar kehidupan”; itu adalah sumber dan mata air dari semua tindakan dan operasi vital. Hati adalah gudang, tangan dan lidah hanyalah toko-toko; apa yang ada di dalam mereka berasal dari sana — hati yang merancang dan anggota tubuh yang melaksanakan. Di dalam hati lah prinsip-prinsip kehidupan rohani terbentuk: “Orang yang baik mengeluarkan barang yang baik dari perbendaharaan hatinya yang baik; dan orang yang jahat mengeluarkan barang yang jahat dari perbendaharaan hatinya yang jahat” (Lukas 6:45). Maka, marilah kita dengan cermat memastikan bahwa hati kita dipenuhi dengan pengajaran yang saleh, berusaha untuk bertambah dalam kasih yang bersyukur, rasa takut yang penuh hormat, kebencian terhadap dosa, dan kebaikan dalam semua tindakannya, agar dari dalam mata air suci ini mengalir dan memperkaya seluruh perilaku dan percakapan kita.

Pekerjaan menjaga hati adalah yang paling sulit dari semuanya. “Melaksanakan tugas-tugas keagamaan dengan roh yang longgar dan ceroboh tidak memerlukan banyak usaha; tetapi untuk menempatkan diri Anda di hadapan Tuhan, dan mengikat pikiran Anda yang longgar dan sia-sia pada kehadiran yang konstan dan serius kepada-Nya: ini akan memerlukan usaha! Untuk mencapai kemampuan dan ketangkasan bahasa dalam doa, dan mengekspresikan makna Anda dengan kata-kata yang tepat dan sopan, itu mudah; tetapi untuk membuat hati Anda hancur karena dosa saat Anda mengakuinya, diluluhkan oleh anugerah yang diberikan secara cuma-cuma, saat Anda memuji Allah untuk itu, benar-benar malu dan merendah karena menyadari kekudusan Allah yang tak terbatas, dan menjaga hati Anda dalam kerangka ini, tidak hanya pada saat, tetapi setelah kewajiban, pasti akan mendatangkan keluhan dan penderitaan jiwa yang menyiksa. Menekan tindakan lahiriah dosa, dan menyusun tindakan lahiriah hidup Anda dengan cara yang terpuji dan pantas, bukanlah masalah besar — bahkan orang-orang duniawi dengan kekuatan prinsip-prinsip umum dapat melakukannya; tetapi untuk membunuh akar kerusakan yang ada di dalam diri kita, menempatkan dan menjaga pemerintahan suci atas pikiran anda, untuk membuat semua hal berjalan lurus dan teratur dalam hati, hal ini tidak mudah” (John Flavel).

Ah, pembaca yang terkasih, jauh lebih mudah untuk berbicara di tempat terbuka daripada mencabut kesombongan dari jiwa Anda. Jauh lebih sedikit kerja keras untuk pergi dan mendistribusikan selebaran daripada mengusir pikiran yang tidak suci dari pikiran Anda. Seseorang dapat berbicara kepada yang belum diselamatkan jauh lebih mudah daripada menyangkal diri, memikul salibnya setiap hari, dan mengikuti Kristus di jalan ketaatan. Dan seseorang dapat mengajar kelas di sekolah Minggu dengan jauh lebih sedikit kesulitan daripada mengajarkan dirinya sendiri cara memperkuat kebajikan-kebajikan rohaninya sendiri. Menjaga hati dengan segala kewaspadaan memerlukan pemeriksaan yang sering terhadap bingkai dan disposisinya, mengamati sikapnya terhadap Allah, dan arahan utama dari afeksinya; dan itu adalah sesuatu yang tidak akan dilakukan oleh seorang pengaku iman yang kosong! Dia dapat memberi dengan murah hati untuk proyek keagamaan, tetapi dia tidak akan memberikan dirinya untuk menyelidiki, memurnikan dan menjaga hatinya.

Pekerjaan menjaga hati adalah pekerjaan yang terus menerus. “Menjaga hati adalah pekerjaan yang tidak pernah selesai sampai hidup berakhir: pekerjaan ini dan hidup kita berakhir bersama. Orang Kristen dalam perkara ini, seperti pelaut yang mengalami kebocoran di laut; jika mereka tidak terus-menerus memompa, air akan bertambah, dan akan segera menenggelamkan mereka. Tidak ada gunanya bagi mereka untuk mengatakan pekerjaannya sulit, dan kami lelah; tidak ada waktu atau kondisi dalam kehidupan seorang Kristen yang akan mengizinkan penundaan pekerjaan ini. Hal menjaga hati kita, seperti dalam menjaga tangan Musa, sementara Israel dan Amalek berperang di bawah (Keluaran 17:12); segera setelah tangan Musa menjadi berat dan turun, Amalek menang. Anda tahu itu membuat Daud dan Petrus mengalami banyak hari dan malam yang menyedihkan karena mengabaikan penjagaan hati mereka sendiri untuk beberapa menit saja” (J. Flavel).

Konsekuensi dari Pekerjaan Hati

Setelah berusaha menunjukkan bahwa menjaga hati adalah pekerjaan besar yang ditugaskan kepada orang Kristen, yang di dalamnya terdapat jiwa dan kehidupan agama sejati, dan tanpa pelaksanaannya semua tugas lain tidak dapat diterima oleh Allah, sekarang mari kita tunjukkan beberapa konsekuensi yang secara alami mengikuti fakta ini.

  1. Usaha yang dilakukan banyak orang dalam agama hilang. Banyak pelayanan besar yang telah dilakukan, banyak pekerjaan luar biasa yang dilakukan oleh manusia, yang sepenuhnya ditolak oleh Allah, dan tidak akan menerima pengakuan pada hari penghargaan. Mengapa? Karena mereka tidak berusaha menjaga hati mereka tetap bersama dengan Allah dalam tugas-tugas tersebut; ini adalah batu karang fatal di mana ribuan pengaku iman yang sia-sia telah hancur sampai pada kehancuran abadi mereka — mereka rajin tentang hal-hal lahiriah agama, tetapi mengabaikan hati mereka. Berapa banyak jam yang telah dihabiskan para pengaku iman dalam mendengar, membaca, berdiskusi, dan berdoa, namun mengenai tugas utama yang Allah telah tetapkan, mereka tidak melakukan apa-apa. Katakan padaku, pengaku iman sia-sia, kapan terakhir kali Anda menghabiskan lima menit dalam upaya serius untuk menjaga, membersihkan, meningkatkannya? Apakah Anda berpikir bahwa agama yang mudah seperti itu dapat menyelamatkan Anda? Jika demikian, kita harus membalikkan kata-kata Kristus dan berkata, “Lebarlah pintu gerbang dan luaslah jalan yang menuju kehidupan, dan banyak yang masuk melaluinya.”
  2. Jika menjaga hati adalah pekerjaan besar orang Kristen, maka betapa sedikitnya orang Kristen sejati di dunia. Jika setiap orang yang telah belajar bahasa Kekristenan dan dapat berbicara seperti seorang Kristen, jika setiap orang yang memiliki bakat dan kemampuan alami dan yang dibantu oleh kehadiran Roh yang menolong secara umum dan berdoa serta mengajar seperti seorang Kristen, jika semua yang mengasosiasikan diri dengan umat Allah, menyumbangkan harta mereka untuk tujuan-Nya, menikmati peraturan umum, dan yang bertindak seperti orang Kristen adalah orang Kristen sejati, maka jumlah orang suci akan cukup besar. Tetapi, sayangnya, betapa kecilnya jumlah kawanan mereka ketika diukur dengan aturan ini: berapa sedikit yang berusaha dengan sadar untuk menjaga hati mereka, mengawasi pikiran mereka, menilai motif mereka. Ah, tidak ada tepuk tangan manusia yang mendorong orang untuk terlibat dalam pekerjaan sulit ini, dan jika orang munafik melakukannya, mereka akan segera menemukan apa yang tidak ingin mereka ketahui. Pekerjaan hati ini diserahkan di tangan beberapa orang yang tersembunyi. Pembaca, apakah Anda salah satu dari mereka?
  3. Kecuali orang Kristen sejati menghabiskan lebih banyak waktu dan usaha tentang hati mereka daripada yang telah mereka lakukan, mereka tidak akan pernah bertumbuh dalam kasih karunia, menjadi sangat berguna bagi Allah, atau memiliki banyak penghiburan di dunia ini. Anda berkata, “Tetapi hatiku tampak begitu lesu dan mati.” Apakah Anda heran dengan itu, ketika Anda tidak menjaganya dalam persekutuan setiap hari dengan Ia yang adalah sumber kehidupan? Jika tubuh Anda tidak menerima perhatian lebih banyak daripada jiwa Anda, bagaimana keadaannya sekarang? Oh, saudaraku atau saudariku, bukankah semangat Anda mengalir di saluran yang salah? Allah dapat dinikmati bahkan di tengah pekerjaan duniawi: “Henokh berjalan dengan Allah, dan memperanakkan anak-anak lelaki dan perempuan” (Kejadian 5:19) — dia tidak mengasingkan diri ke sebuah biara, dan Anda juga tidak perlu melakukan hal tersebut.
  4. Sudah saatnya pembaca Kristen memulai pekerjaan hati ini dengan sungguh-sungguh. Janganlah Anda meratap, “Mereka membuatku menjadi penjaga kebun anggur; tetapi kebun anggurku sendiri belum kujaga” (Kidung Agung 1:16) [2]? Maka, jauhkanlah kontroversi-kontroversi yang tidak berguna dan pertanyaan-pertanyaan yang sia-sia; jauhkan nama-nama kosong dan pertunjukan yang sia-sia; jauhkan kritikan yang keras terhadap orang lain — berbaliklah pada dirimu sendiri. Anda telah cukup lama menjadi orang asing bagi pekerjaan ini; Anda telah bermain-main di perbatasan agama terlalu lama: dunia telah menghalangi Anda dari pekerjaan yang sangat diperlukan ini terlalu lama. Akankah Anda sekarang memutuskan untuk menjaga hati Anda dengan lebih baik? Bergegaslah ke tempat persembunyian Anda.

Keuntungan dari Pekerjaan Hati

Hati manusia adalah bagian terburuknya sebelum  dilahirkan kembali, dan bagian terbaik setelahnya; hati adalah pusat prinsip dan sumber tindakan. Mata Allah, dan mata orang Kristen seharusnya, terutama tertuju pada hati. Kesulitan besar setelah pertobatan adalah menjaga hati tetap bersama Allah. Di sinilah terletak inti dan tekanan agama; inilah yang membuat jalan menuju kehidupan menjadi sempit, dan pintu gerbang surga menjadi kecil. Untuk memberikan beberapa arahan dan bantuan dalam pekerjaan besar ini, artikel ini telah disajikan. Kami menyadari banyak kekurangannya, namun berharap Allah akan berkenan menggunakannya. Tidak ada subjek lain yang dapat dibandingkan dengannya dalam hal kepentingan praktis.

Pengabaian umum terhadap hati adalah penyebab utama dari keadaan yang menyedihkan dari  umat Kristen saat ini; sisa artikel ini mungkin dapat digunakan untuk memverifikasi dan memperluas pernyataan itu; sebagai gantinya, kami hanya menunjukkan secara singkat satu atau dua fitur yang lebih menonjol. Mengapa begitu banyak pengkhotbah menahan dari jemaat mereka apa yang jelas-jelas paling dibutuhkan? Mengapa mereka “mengucapkan hal-hal yang menyenangkan” alih-alih menggunakan pedang Roh? Karena hati mereka sendiri tidak benar di hadapan Allah: rasa takut akan Allah yang kudus tidak ada pada mereka. “Hati yang jujur dan baik” (Lukas 8:15) akan menyebabkan seorang hamba Kristus memberitakan kebenaran Firman yang paling penting dan bermanfaat, betapa pun tidak menyenangkannya hal itu bagi banyak orang di jemaatnya. Dia akan dengan setia menegur, menasihati, mengingatkan, mengoreksi, dan mengajar, baik pendengarnya suka maupun tidak.

Mengapa begitu banyak anggota gereja telah meninggalkan iman dan memperhatikan roh-roh penyesat? Mengapa banyak orang tertarik pada kesalahan orang fasik, mengubah anugerah Allah menjadi hawa nafsu? Mengapa begitu banyak orang lain tertarik pada kelompok para pengaku iman yang, meskipun mereka membanggakan diri sebagai satu-satunya orang yang berkumpul dalam (atau untuk) nama Kristus, sebagian besar adalah orang-orang yang hanya mengenal tulisan Kitab Suci dan asing dengan kesalehan praktis? Ah, jawabannya tidak sulit ditemukan: karena mereka tidak memiliki hubungan hati dengan hal-hal dari Allah. Orang-orang yang sakit dan lemahlah yang mudah menjadi korban para penipu; demikian pula, mereka yang hatinya tidak pernah berakar dan berdasar pada Kebenaran mudah terbawa oleh setiap angin dan doktrin. Studi dan penjagaan hati adalah penangkal terbaik terhadap kesalahan zaman. Dan ini membawa kita untuk menunjukkan beberapa keuntungan dari menjaga hati. Untuk banyak dari apa yang akan disampaikan berikut ini, kita berutang budi kepada Puritan, John Flavel.

1. Perenungan dan penjagaan hati adalah bantuan besar untuk memahami hal-hal mendalam tentang Allah. Hati yang jujur dan berpengalaman adalah bantuan luar biasa bagi kepala yang lemah. Hati seperti itu akan berfungsi sebagai penafsiran atas banyak bagian Kitab Suci. Ketika orang seperti itu membaca Mazmur Daud atau Surat Paulus, ia akan menemukan banyak kesulitannya sendiri dinyatakan dan diselesaikan: ia akan menemukan mereka berbicara dengan bahasa hatinya sendiri — menceritakan pengalamannya, mengekspresikan kesedihan dan sukacitanya. Dengan studi hati yang dekat dan mendalam, ia akan jauh lebih siap untuk memahami hal-hal dari Allah dibandingkan dengan rabi yang tidak memiliki kasih karunia dan dokter yang tidak berpengalaman — hal-hal tersebut tidak hanya akan menjadi lebih jelas, tetapi juga jauh lebih manis baginya. Seseorang mungkin berbicara secara ortodoks dan mendalam tentang sifat dan efek iman, tentang keindahan Kristus, dan manisnya persekutuan dengan Allah, tetapi tidak pernah merasakan kesan atau kemanjuran dari hal-hal tersebut pada jiwanya sendiri. Tetapi betapa membosankan dan keringnya gagasan-gagasan ini bagi mereka yang telah terpesona olehnya.

Ah, pembaca saya, pengalaman adalah guru yang hebat. Banyak hal di dalam Kitab Ayub akan tampak membosankan dan tidak menarik sampai Anda memiliki pengalaman jiwa yang lebih mendalam. Pasal ketujuh dari Roma tidak mungkin menarik bagi Anda sampai Anda lebih peduli dengan dosa yang tinggal di dalam diri anda. Banyak Mazmur terakhir akan tampak terlalu berlebihan dalam bahasanya sampai Anda menikmati persekutuan yang lebih dekat dan manis dengan Allah. Tetapi semakin Anda berusaha untuk menjaga hati Anda, dan membawanya ke dalam ketaatan kepada Allah, untuk menjaganya dari godaan jahat dari setan, Anda akan menemukan banyak bab dari Alkitab semakin sesuai dengan kasus Anda sendiri. Bukan hanya Anda harus berada dalam “suasana hati yang tepat” untuk menghargainya, tetapi Anda harus melewati pengalaman hati tertentu sebelum Anda dapat menemukan kesesuaiannya. Saat itulah Anda akan “merasakan” dan “mencicipi” sendiri hal-hal yang dibicarakan oleh para penulis yang diilhami. Saat itulah Anda akan memiliki kunci yang membuka banyak ayat yang tertutup rapat bagi para ahli bahasa Ibrani dan Yunani.

2. Kehati-hatian dalam menjaga hati menyediakan salah satu bukti terbaik dari ketulusan. Tidak ada tindakan eksternal yang membedakan antara pengaku iman yang benar dan yang tidak benar, tetapi di hadapan ujian ini tidak ada orang munafik yang dapat bertahan. Memang benar bahwa ketika mereka mengira kematian sangat dekat banyak yang akan menangis karena kejahatan dan ketakutan dalam hati mereka, tetapi itu tidak lebih dari sekadar raungan binatang saat ia dalam kesulitan. Tetapi jika Anda lembut terhadap hati nurani Anda, berjaga-jaga terhadap pikiran Anda, dan berhati-hati setiap hari terhadap cara kerja dan bingkai hati Anda, ini sangat menunjukkan ketulusan hati Anda; karena apa lagi selain kebencian yang nyata terhadap dosa, apa lagi selain kesadaran bahwa mata Allah mengawasi Anda, yang bisa mendorong siapa pun untuk melakukan tugas-tugas rahasia yang tidak terlihat oleh semua makhluk? Jika demikian, alangkah baiknya memiliki kesaksian yang adil tentang integritas Anda, dan mengetahui kebenaran bahwa Anda takut akan Allah, maka pelajarilah, perhatikanlah, dan jagalah hati Anda.

Kenyamanan sejati bagi jiwa kita sangat bergantung pada hal ini, karena dia yang lalai menjaga hatinya umumnya asing terhadap kepastian rohani dan kenyamanan manis yang mengalir darinya. Allah biasanya tidak memanjakan jiwa yang malas dengan kedamaian batin, karena Ia tidak akan menjadi pelindung dari ketidakpedulian apa pun. Ia telah menyatukan ketekunan dan kenyamanan kita, dan mereka sangat keliru jika mengira bahwa anak cantik dari kepastian dapat lahir tanpa penderitaan jiwa. Pemeriksaan diri yang tekun diperlukan: pertama melihat ke dalam Firman, dan kemudian melihat ke dalam hati kita, untuk melihat seberapa jauh mereka sesuai. Memang benar bahwa Roh Kudus tinggal di dalam orang Kristen, tetapi Ia tidak dapat dilihat dari esensi-Nya; pekerjaan-Nyalah yang menyatakan-Nya, dan hal ini diketahui melalui kebajikan-kebajikan yang Ia hasilkan dalam jiwa; dan itu hanya dapat dirasakan melalui pencarian yang tekun dan pemeriksaan hati yang jujur. Di dalam hatilah Roh bekerja.

3. Kehati-hatian dalam menjaga hati membuat sarana anugerah dan pelaksanaan tugas rohani kita menjadi berkat dan berbuah. Betapa manisnya persekutuan kita dengan Allah ketika Ia didekati dalam bingkai jiwa yang benar: maka kita dapat berkata dengan Daud, “Renunganku tentang Dia akan manis” (Mazmur 104:34). Tetapi ketika hati tidak sesuai, penuh dengan hal-hal dunia ini, maka kita kehilangan kenyamanan dan sukacita yang seharusnya menjadi milik kita. Khotbah yang Anda dengar dan artikel yang Anda baca (jika oleh hamba Allah) akan tampak sangat berbeda jika Anda membawa hati yang dipersiapkan untuk itu! Jika hati benar, Anda tidak akan mengantuk saat mendengar atau membaca tentang kekayaan anugerah Allah, kemuliaan Kristus, keindahan kekudusan, atau kebutuhan untuk berjalan yang diatur secara Alkitabiah. Karena hati yang diabaikanlah Anda mendapatkan begitu sedikit dari menghadiri sarana-sarana anugerah!

Hal yang sama berlaku untuk doa. Betapa berbedanya antara hati yang sangat terlatih dan terbebani secara rohani yang mencurahkan dirinya sendiri di hadapan Allah dalam permohonan yang sungguh-sungguh dan pengucapan petisi verbal yang dihafal! Ini adalah perbedaan antara kenyataan dan formalitas. Dia yang rajin dalam pekerjaan hati dan memahami keadaan jiwanya sendiri tidak kesulitan mengetahui apa yang harus diminta dari Allah. Maka dia yang terbiasa berjalan dengan Allah, bersekutu dengan Allah, merenungkan Allah, secara spontan menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran: seperti Daud, dia akan berkata, “Hatiku meluap dengan kata-kata indah” (Mazmur 45:2). Bahasa Ibrani di sana sangat sugestif: secara harfiah adalah “hatiku sedang mendidihkan perkara baik”; itu adalah ungkapan kiasan, diambil dari mata air yang hidup, yang mengeluarkan air segar. Orang formalis harus memeras pikirannya dan, seolah-olah, dengan susah payah memompa sesuatu untuk dikatakan kepada Allah; tetapi dia yang secara sengaja melakukan pekerjaan hati mendapati jiwanya seperti botol anggur baru -siap untuk meledak, meluapkan kesedihan atau sukacita sesuai dengan keadaannya.

4. Ketekunan dalam menjaga hati akan membuat jiwa stabil di saat pencobaan. Kepedulian atau kelalaian terhadap hati nurani sangat menentukan sikap dan respons kita terhadap godaan kejahatan. Hati yang lalai mudah menjadi mangsa setan. Serangan utama setan ditujukan kepada hati, karena jika dia menguasainya, dia menguasai semuanya, karena hati memerintah seluruh manusia! Betapa mudahnya menaklukkan hati yang tidak dijaga; tidak lebih sulit bagi setan untuk menangkapnya daripada seorang pencuri memasuki rumah yang jendela dan pintunya tidak terkunci. Hati yang waspadalah yang menemukan dan menekan godaan sebelum godaan itu datang dengan kekuatannya yang penuh. Hal ini seperti batu besar yang menggelinding menuruni bukit — mudah dihentikan pada awalnya, tetapi sangat sulit setelah mencapai momentum penuh. Jadi, jika kita memelihara khayalan pertama yang sia-sia saat ia memasuki pikiran, ia akan segera tumbuh menjadi nafsu yang kuat yang tidak akan bisa ditolak.

Tindakan didahului oleh keinginan, dan keinginan oleh pikiran. Objek yang berdosa pertama-tama muncul dalam imajinasi, dan jika itu tidak dihentikan sejak awal, afeksi akan tergerak dan dilibatkan. Jika hati tidak menolak imajinasi jahat, jika sebaliknya ia malah memikirkannya, mendorongnya, memberinya makan, maka tidak lama lagi persetujuan dari kehendak akan diperoleh. Bagian yang sangat besar dan penting dari pekerjaan hati terletak pada mengamati gerakan pertamanya, dan menghentikan dosa di sana. Gerakan dosa paling lemah pada awalnya, dan sedikit kewaspadaan dan perhatian saat itu mencegah banyak masalah dan kerusakan di kemudian hari. Tetapi jika gerakan pertama dosa dalam imajinasi tidak diamati dan dilawan, maka hati yang lalai dengan cepat tunduk pada kekuatan penuh dari pencobaan, dan setan pun menang.

5. Ketekunan dalam menjaga hati adalah bantuan besar untuk meningkatkan kebajikan kita. Kebajikan tidak pernah berkembang dalam jiwa yang lalai, karena akar dan kebiasaan dari kebajikan ditanamkan di hati, dan semakin dalam mereka tertanam di sana, semakin berkembang dan subur kebajikan itu. Dalam Efesus 3:17, kita membaca tentang “berakar dan berdasar dalam kasih”: kasih di dalam hati adalah sumber dari setiap kata-kata yang penuh kasih dari mulut dan setiap tindakan suci dari tangan. Tetapi bukankah Kristus adalah “akar” dari kebajikan orang Kristen? Ya, akar asalnya, tetapi kebajikan adalah akar turunan, ditanam dan diberi makan oleh-Nya, dan  sebagaimana ini berkembang di bawah pengaruh Ilahi, maka buah-buah kasih karunia menjadi lebih sehat dan kuat. Tetapi dalam hati yang tidak dijaga dengan rajin, pengaruh-pengaruh yang menghasilkan buah ini akan tercekik. Seperti dalam taman yang tidak dirawat, gulma memenuhi bunga, demikian pula pikiran yang sia-sia yang tidak dihilangkan, dan nafsu yang tidak dimatikan, memakan kekuatan hati. “Jiwaku akan dipuaskan seperti dengan sumsum dan lemak; dan mulutku akan memuji-Mu dengan bibir yang penuh sukacita: ketika aku mengingat-Mu di tempat tidurku, dan merenungkan-Mu di waktu jaga malam” (Mazmur 63:5, 6).

6. Perhatian yang rajin terhadap hati membuat persekutuan Kristen bermanfaat dan berharga. Mengapa ketika orang Kristen bertemu bersama sering terjadi ketidakselarasan dan perselisihan? Itu karena nafsu yang belum dimatikan. Mengapa percakapan mereka begitu hampa dan tidak berharga? Itu karena kesia-siaan dan keduniawian hati mereka. Tidak sulit untuk mengetahui dari tindakan dan percakapan orang Kristen kerangka pikiran apa yang mereka jalani. Ambillah satu orang yang pikirannya benar-benar terikat pada Allah; betapa serius, surgawi dan membangun percakapannya: “Mulut orang benar mengucapkan hikmat, dan lidahnya berbicara tentang keadilan: hukum Allahnya ada dalam hatinya” (Mazmur 37:30, 31). Jika setiap dari kita setiap hari direndahkan di hadapan Allah dan menundukkan kejahatan hatinya sendiri, kita akan lebih berbelas kasihan dan lembut terhadap orang lain (Gal. 6:1).

7. Hati yang dijaga dengan baik mempersiapkan kita untuk setiap keadaan yang Allah mungkin tempatkan kita, atau setiap pelayanan yang Ia ingin kita lakukan. Dia yang telah belajar menjaga hatinya rendah hati cocok untuk kemakmuran; dan dia yang tahu bagaimana menerapkan janji dan dukungan Alkitab cocok untuk melewati kesulitan apapun. Jadi dia yang bisa menolak kesombongan dan keegoisan hatinya cocok untuk digunakan dalam pelayanan apa pun untuk Allah. Orang seperti itu adalah Paulus; dia tidak hanya melayani orang lain, tetapi juga menjaga kebun anggurnya sendiri (lihat 1 Kor 9:27). Dan betapa alat yang menonjol dia bagi Allah: dia tahu bagaimana berkelimpahan dan bagaimana menderita kehilangan. Biarlah orang-orang menentangnya, itu tidak mempengaruhinya kecuali dengan kemarahan; biarkan mereka melemparinya dengan batu, dia bisa menanggungnya.

8. Dengan menjaga hati kita dengan rajin kita harus secepatnya menyingkirkan skandal; dan batu sandungan dari jalan dunia. Betapa nama Tuhan kita yang mulia dicemarkan karena perilaku buruk banyak orang yang menyandang nama-Nya. Betapa prasangka telah diciptakan terhadap Injil oleh kehidupan yang tidak konsisten dari mereka yang memberitakannya. Tetapi jika kita menjaga hati kita, kita tidak akan menambah skandal yang disebabkan oleh jalan para pengaku iman yang longgar. Tidak, mereka yang berhubungan dengan kita akan melihat bahwa kita “telah bersama Yesus.” Ketika sinar-sinar kesucian yang megah bersinar dari perjalanan surgawi, dunia akan terpesona dan penghormatan akan kembali diperoleh oleh para pengikut Anak Domba.

Meskipun menjaga hati membutuhkan kerja keras yang begitu berat, bukankah berkat-berkat tersebut memberikan insentif yang cukup untuk melakukannya dengan tekun? Lihatlah delapan manfaat khusus yang telah kami sebutkan, dan timbanglah dengan seimbang; mereka bukanlah hal-hal yang sepele. Maka jagalah hati Anda dengan baik, dan perhatikan dengan cermat kasih Anda kepada Allah. Yakub bekerja selama tujuh tahun untuk Rahel, dan itu tampak baginya hanya beberapa hari, karena cintanya kepadanya. Pekerjaan cinta selalu menyenangkan. Jika Allah memiliki hati Anda, kaki akan berlari dengan cepat dalam jalan perintah-perintah-Nya, tugas akan menjadi sebuah kesenangan. Maka mari kita dengan sungguh-sungguh berdoa, “Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian rupa, sehingga kami memperoleh hati yang bijaksana” (Mazmur 90:12) —saat kita “menerapkan tangan kita pada tugas-tugas keseharian.”

Izinkan saya menutup dengan beberapa kata penghiburan bagi semua orang Kristen yang serius yang telah berusaha memberikan diri mereka dengan setia dan saksama untuk pekerjaan hati ini, tetapi yang merintih dalam diam atas kurangnya kesuksesan yang tampak di dalamnya, dan yang takut bahwa pengalaman mereka tidak memenuhi standar keselamatan. Pertama, ini menunjukkan bahwa hati kita adalah jujur dan tulus. Jika Anda meratapi kondisi hati dan dosa-dosa, itu adalah sesuatu yang tidak dilakukan oleh orang munafik. Banyak orang sekarang di neraka yang memiliki kepala lebih baik daripada saya; banyak orang sekarang di surga mengeluhkan hati yang seburuk hati Anda.

Kedua, Allah tidak akan pernah meninggalkan Anda di bawah begitu banyak beban dan masalah hati jika Ia tidak memaksudkannya untuk kebaikan Anda. Anda berkata, Tuhan, mengapa saya terus meratap, sepanjang hari bersedih hati? sudah lama saya berjuang melawan kekerasan hati, dan belum juga terpecahkan. Bertahun-tahun saya telah berjuang melawan pikiran-pikiran yang sia-sia, dan masih saja saya diganggu olehnya. Kapan saya akan mendapatkan hati yang lebih baik? Ah, Allah ingin menunjukkan kepada Anda bagaimana natur hati Anda sebenarnya, dan membuat Anda memperhatikan betapa besar anugerah-Nya! Demikian juga, Ia ingin menjaga Anda tetap rendah hati, dan tidak membiarkan Anda jatuh cinta pada dirimu sendiri!

Ketiga, Allah akan segera mengakhiri semua kekhawatiran, kewaspadaan, dan sakit hati ini dengan penuh berkat. Waktunya akan datang ketika hati Anda akan seperti yang Anda inginkan, ketika Anda akan dibebaskan dari semua ketakutan dan kesedihan, dan tidak akan pernah lagi berseru, “Oh hatiku yang keras, sia-sia, duniawi, najis.” Kemudian semua kegelapan akan dibersihkan dari pengertian Anda, semua kesia-siaan dari afeksi Anda, semua rasa bersalah dari hati nurani Anda, semua kebengkokan dari kehendak Anda. Maka Anda akan secara kekal, dengan sukacita, menikmati dan terpesona oleh kebaikan tertinggi dan keunggulan Allah yang tak terbatas. Segera akan terbit pagi yang tanpa awan itu, ketika semua bayangan akan hilang; dan kemudian kita “akan menjadi sama seperti Dia, karena kita akan melihat Dia dalam keadaan-Nya yang sebenarnya” (1 Yohanes 3:2). Haleluya!

Penulis

Arthur W. Pink, lahir di Britania Raya pada tahun 1886, berimigrasi ke  Amerika Serikat untuk belajar di Moody Bible Institute. Ia melayani di gereja di Colorado, California, Kentucky, dan South Carolina sebelum menjadi guru Alkitab di 1919. Kemudian ia kembali ke kampung halamannya di 1934, bertempat tinggal di Isle of Lewis, Scotland di 1940, dan tinggal disana hingga kematiannya 12 tahun kemudian. Banyak dari karyanya pertama kali muncul sebagai artikel di Studies in the Scriptures, dipublikasikan dari 1992 – 1952.


[1] 2 Tawarikh 26:16

[2] Kidung Agung 1:6